Tindak illegal Fishing di Kab. Kolaka


           Kabupaten Kolaka sebagai salah satu wilayah di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan luas wilayah daratan seluas ± 3.283,64 Km2 , hampir seluruh wilayahnya memiliki daerah pesisir dimana dari 12 Kecamatan yang berada di wilayah administratifnya, 10 Kecamatan mempunyai wilayah pesisir.  Kecamatan-kecamatan yang memilki daerah pesisir mulai dari wilayah utara hingga selatan yaitu Kec. Iwomendaa, Kec. Wolo, Kec. Samaturu, Kec. Latambaga, Kec. Kolaka, Kec Wundulako, Kec. Pomalaa, Kec. Tanggetada, Kec. Watubangga, dan Kec. Toari.  Masyarakat yang mendiami wilayah wilayah pesisir sebagian besar menggantungkan hidupnya dari bekerja menjadi nelayan.  Oleh karena itu Kabupaten Kolaka memiliki potensi perikanan yang cukup besar dilihat dari potensi sumberdaya ikan dan potensi sumberdaya nelayan.

Bersumber dari data statistik perikanan tangkap Dinas Perikanan Kabupaten Kolaka, terlihat bahwa nelayan di Kab. Kolaka didominasi oleh kategori nelayan kecil.  Sebagian besar melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan perahu/kapal dengan ukuran < 10 GT.  Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2015 disebutkan bahwa nelayan kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros ton (GT).  Sedangkan di dalam Undang-Undang Perikanan Nomor 45 Tahun 2009, kategori nelayan kecil hanya sampai nelayan yang menggunakan perahu/kapal hingga <5 GT saja.

Beberapa tahun belakangan ini, terjadi peningkatan kapasitas nelayan kecil, diantaranya peningkatan kapasitas perahu/kapal, peningkatan kapasitas mesin serta peningkatan kapasitas alat penangkap ikan.  Hal ini ditunjang dengan tersedianya berbagai program yang dilakukan oleh Dinas Perikanan Kab. Kolaka maupun upaya yang dilakukan secara mandiri oleh nelayan.  Namun sayangnya hal ini tidak sejalan dengan keberadaan sumberdaya perikanan, diakibatkan oleh karena semakin maraknya aktifitas penangkapan ikan yang tidak memperdulikan kelestarian sumberdaya perikanan.

Pola pikir nelayan yang berpendapat bahwa ikan akan selalu ada walaupun diambil setiap hari menyebabkan makin meningkatnya aktifitas Destructive Fishing (penangkapan ikan dengan cara-cara yang merusak).  Akibatnya keberadaan sumberdaya ikan khususnya ikan-ikan yang bernilai ekonomis penting semakin berkurang tanpa adanya upaya-upaya Restocking.

Dampaknya nelayan semakin sulit mendapatkan hasil tangkapan dan harus mencari ke perairan yang lebih jauh, sedangkan dampak yang langsung dirasakan oleh masyarakat yaitu harga ikan relatif semakin tinggi sehingga mempengaruhi tingkat konsumsi ikan.  Kalau dulu ikan akan relatif mahal pada saat musim angin barat atau musim angin timur saja karena pada musim seperti itu nelayan membatasi kegiatan penangkapan ikan sehingga di pasar ikan kurang, maka sekarang harga ikan relatif mahal sepanjang bulan.  Akibatnya ikan tidak cepat terjual karena harga yang relatif tinggi sehingga kualitas ikan di tingkat penjual menurun, apalagi dengan tidak diterapkannya sistem rantai dingin menyebabkan kualitas ikan semakin cepat menurun.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Dinas Perikanan Kab. Kolaka untuk menanggulangi tindakan Illegal Fishing, baik dengan melakukan operasi Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang dilakukan secara reguler maupun dengan operasi pengawasan terpadu yang dilakukan dengan TNI Angkatan Laut (AL)  sampai dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati Kolaka tentang pelarangan Penjualan Hasil Tangkapan Ikan yang tertangkap dengan menggunakan bom ikan maupun dengan bius.  Akan tetapi tidakan Illegal Fishing seakan tidak penah ada habisnya, kegiatan pengeboman dan pembiusan ikan tetap masih terjadi.  Apalagi saat ini dimana kewenangan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di Kabupaten telah sepenuhnya menjadi kewenangan oleh Dinas Perikanan Provinsi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 membuat kegiatan Illegal Fishing semakin tidak terkendali karena sudah tidak pernah dilaksanakannya kegiatan operasi Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Kolaka.  Melihat kondisi tersebut, akan sulit untuk memberantas kegiatan illegal fishing karena hal ini sudah bagaikan penyakit yang menggerogoti cara berfikir masyarakat pesisir.  Para pelaku illegal fishing menerapkan cara berpikir memperoleh hasil tangkapan sebanyak-banyaknya dengan cara cepat.  Akhirnya mereka memilih menggunakan bahan peledak dan bius untuk mendapatkan hasil yang banyak dengan cara cepat tanpa memperdulikan efek dari tindakan tersebut terhadap keberlangsungan sumberdaya dan keselamatan dirinya.  Akibat pengeboman dan bius, ikan-ikan kecil akan mati serta terumbu karang menjadi rusak  padahal proses untuk pertumbuhan karang untuk mencapai ukuran yang besar membutuhkan waktu yang sangat lama.  Akibatnya terumbu karang sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan, tempat perlindungan dan tempat berkembang biak sudah tidak ada lagi, imbasnya jumlah ikan semakin menurun.  Begitu juga dengan akibat dari penggunaan obat bius yang dapat membunuh karang-karang yang ada.  Para pelaku tidak menyadari bahwa dengan melakukan kegiatan yang merusak akan menjadikan kehidupan menjadi lebh sulit akibat ikan sebagai sumber mata pencahariannya semakin sulit didapatkan.  Hal ini yang seharusnya disadari oleh para pelaku illegal fishing sehingga mereka dapat menghentikan aktifitas yang merusak tersebut dan melakukan kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan.

Diharapkan dengan tulisan ini mampu menggugah setiap pembaca untuk ikut memikirkan serta ikut aktif menjaga sumberdaya kelautan dan perikanan kita sehingga tetap lestari khususnya di Kabupaten Kolaka. 

 

Penulis: Firmansyah, S.Pi. ( Penyuluh Perikanan Muda )

Komentar

Postingan populer dari blog ini